Sabtu, 27 November 2010

Shalawat Nariyah


Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata: “Shalawat Nariyah cukup populer di banyak kalangan dan ada yang meyakini bahwa orang yang bisa membacanya sebanyak 4444 kali dengan niat menghilangkan kesulitan-kesulitan atau demi menunaikan hajat maka kebutuhannya pasti akan terpenuhi. Ini merupakan persangkaan yang keliru dan tidak ada dalilnya sama sekali. Terlebih lagi apabila anda mengetahui isinya dan menyaksikan adanya kesyirikan secara terang-terangan di dalamnya. Berikut ini adalah bunyi shalawat tersebut:”
اللهم صل صلاة كاملة وسلم سلاما تاما على سيدنا محمد الذي تنحل به العقد وتنفرج به الكرب وتقضى به الحوائج وتنال به الرغائب وحسن الخواتيم ويستسقى الغمام بوجهه الكريم وعلى آله وصحبه عدد كل معلوم لك
Allahumma sholli sholaatan kaamilatan Wa sallim salaaman taaman ‘ala sayyidinaa Muhammadin Alladzi tanhallu bihil ‘uqadu, wa tanfariju bihil kurabu, wa tuqdhaa bihil hawaa’iju Wa tunaalu bihir raghaa’ibu wa husnul khawaatimi wa yustasqal ghomaamu bi wajhihil kariimi, wa ‘alaa aalihi, wa shahbihi ‘adada kulli ma’luumin laka
Artinya:
“Ya Allah, limpahkanlah pujian yang sempurna dan juga keselamatan sepenuhnya, Kepada pemimpin kami Muhammad, Yang dengan sebab beliau ikatan-ikatan (di dalam hati) menjadi terurai, Berkat beliau berbagai kesulitan menjadi lenyap, Berbagai kebutuhan menjadi terpenuhi, Dan dengan sebab pertolongan beliau pula segala harapan tercapai, Begitu pula akhir hidup yang baik didapatkan, Berbagai gundah gulana akan dimintakan pertolongan dan jalan keluar dengan perantara wajahnya yang mulia, Semoga keselamatan juga tercurah kepada keluarganya, dan semua sahabatnya sebanyak orang yang Engkau ketahui jumlahnya.”
Syaikh berkata:
“Sesungguhnya aqidah tauhid yang diserukan oleh Al-Qur’an Al Karim dan diajarkan kepada kita oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan kepada setiap muslim untuk meyakini bahwa Allah semata yang berkuasa untuk melepaskan ikatan-ikatan di dalam hati, menyingkirkan kesusahan-kesusahan, memenuhi segala macam kebutuhan dan memberikan permintaan orang yang sedang meminta kepada-Nya. Oleh sebab itu seorang muslim tidak boleh berdoa kepada selain Allah demi menghilangkan kesedihan atau menyembuhkan penyakitnya meskipun yang di serunya adalah malaikat utusan atau Nabi yang dekat (dengan Allah). Al-Qur’an ini telah mengingkari perbuatan berdoa kepada selain Allah baik kepada para rasul ataupun para wali. Allah berfirman yang artinya:
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
“Bahkan sesembahan yang mereka seru (selain Allah) itu justru mencari kedekatan diri kepada Rabb mereka dengan menempuh ketaatan supaya mereka semakin bertambah dekat kepada-Nya dan mereka pun berharap kepada rahmat-Nya serta merasa takut akan azab-Nya. Sesungguhnya siksa Rabbmu adalah sesuatu yang harus ditakuti.” (QS. Al-Israa’: 57). Para ulama tafsir mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang yang berdoa kepada Isa Al-Masih atau memuja malaikat atau jin-jin yang saleh (sebagaimana diceritakan oleh Ibnu Katsir).”
Beliau melanjutkan penjelasannya:
“Bagaimana Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa merasa ridha kalau beliau dikatakan sebagai orang yang bisa melepaskan ikatan-ikatan hati dan bisa melenyapkan berbagai kesusahan padahal Al-Qur’an saja telah memerintahkan beliau untuk berkata tentang dirinya:
قُلْ لا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلا ضَرًّا إِلا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
“Katakanlah: Aku tidak berkuasa atas manfaat dan madharat bagi diriku sendiri kecuali sebatas apa yang dikehendaki Allah. Seandainya aku memang mengetahui perkara ghaib maka aku akan memperbanyak kebaikan dan tidak ada keburukan yang akan menimpaku. Sesungguhnya aku hanyalah seorang pemberi peringatan dan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-A’raaf)
Pada suatu saat ada seseorang yag datang menemui Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan: “Atas kehendak Allah dan kehendakmu wahai Rasul”, Maka beliau menghardiknya dengan mengatakan, “Apakah kamu ingin menjadikan aku sebagai sekutu bagi Allah? Katakan: Atas kehendak Allah semata.” Nidd atau sekutu artinya: matsiil wa syariik (yang serupa dan sejawat) (HR. Nasa’i dengan sanad hasan)
Beliau melanjutkan lagi penjelasannya:
“Seandainya kita ganti kata bihi (به) (dengan sebab beliau) dengan bihaa (بها) (dengan sebab shalawat) maka tentulah maknanya akan benar tanpa perlu memberikan batasan bilangan sebagaimana yang disebutkan tadi. Sehingga bacaannya menjadi seperti ini:
اللهم صل صلاة كاملة وسلم سلاما تاما على سيدنا محمد التي تحل بها العقد
Allahumma sholli sholaatan kaamilatan wa sallim salaaman taamman ‘ala sayyidinaa Muhammadin Allati tuhillu bihal ‘uqadu (artinya ikatan hati menjadi terlepas karena shalawat)
Hal itu karena membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ibadah yang bisa dijadikan sarana untuk bertawassul memohon dilepaskan dari kesedihan dan kesusahan. Mengapa kita membaca bacaan shalawat bid’ah ini yang hanya berasal dari ucapan makhluk biasa sebagaimana kita dan justru meninggalkan kebiasaan membaca shalawat Ibrahimiyah (yaitu yang biasa kita baca dalam shalat, pent) yang berasal dari ucapan Rasul yang Ma’shum?”
***
Penulis: Muhammad Jamil Zainu

Sabtu, 13 November 2010

Riya’ Bahaya! Bener!
Dalam sebuah cerita, dikisahkan ada seorang karyawan muda yang bekerja di sebuah kantor. Ia ditugaskan oleh atasannya untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan yang sangat penting. Sang atasan sangat mengharapkan ia dapat melaksanakan pekerjaan tersebut dengan baik dan menyerahkan laporannya dalam batas waktu yang telah ditetapkan. Maka karyawan muda itu pun melaksanakannya dengan penuh antusias. Setelah pekerjaan tersebut usai, ia menyerahkan laporannya kepada atasan.
Ceritanya gak cukup sampai disini. Ternyata karyawan muda tadi punya pacar (yang tentu saja seorang perempuan, hehe) yang bekerja di perusahaan pesaing. Sebetulnya hubungan mereka belum terlalu serIYUS. Namun karena ia ingin pacarnya itu senang, sehingga ia makin dicintai, makin disayang, dan bla.. bla.. bla.. (gak tau gimana, coz penulis belum pernah pacaran, ehemm..) maka ia memperlihatkan sebagian hasil laporan yang dia kerjakan kepada sang pacar.
Tentu saja, informasi tersebut sangat berguna sehingga pacarnya senang. Toh, gak ada yang tahu ini, semuanya lancar-lancar aja, batin si karyawan.
Coba bayangkan, seandainya atasannya tahu apa yang dilakukan oleh anak buahnya yaitu membocorkan rahasia perusahaan, apa kira-kira yang terjadi? JEGERRR…!!
YA! Tentu atasannya akan memecat karyawan muda itu karena kesalahan fatal yang dilakukannya. Atau minimal ia mendapat peringatan keras dari atasannya. Memang ia (karyawan) tidak berniat menjadi “double agent” di perusahaan pesaing. Namun dengan mencoba menarik hati pacarnya menggunakan informasi perusahaan, jelas ini membahayakan perusahaan yang ia geluti. Terlebih lagi perusahaan lain yang menerima info itu adalah pesaingnya….WAHH!! Pecat aja tuh!!
Perbuatan pegawai yang menyerahkan pekerjaan dan laporan kepada perusahaan lain merupakan perumpamaan dari perbuatan Riya’.
Riya’ sendiri adalah melakukan pekerjaan dimana hasilnya tidak diserahkan kepada yang semestinya dituju. Dalam pengertian yang lebih spesifik, Riya’ adalah mengerjakan suatu (amalan) ibadah dengan tujuan ingin dilihat oleh orang lain.
Misalnya nih, seseorang yang melakukan shalat agar dilihat oleh, contohnya, calon mertua biar imagenya bagus di mata camer..huu :p
Nabi bersabda, “Aku khawatirkan syirik kecil terdapat dalam diri kalian.” Para sahabat bertanya, “Apa maksud syirik kecil itu, wahai Rasulullah?” Nabi menjawab, “Ialah Riya’.”
Kelak jika hari Pembalasan tiba, Allah akan berkata kepada pelaku Riya’, “Pergilah kamu! Pergilah kepada orang-orang yang kamu beramal karena mereka. Lihatlah mereka sekarang, niscaya kamu tidak mendapatkan balasan kebaikan dari orang itu.”
Perbuatan Riya’ amat dicela oleh Allah. Perbuatan itu bahkan dijuluki Syirkun Asghor (syirik kecil). Namanya juga syirik, mau besar kek, mau kecil kek, sama! Sama-sama membahayakan keselamatan kita di akhirat. Nah, Riya’ juga bisa disebut dengan pamer. Tentu saja, pamer dalam perbuatan ibadah. Yang semestinya buat Allah semata, eeh malah disalah gunakan..ckck, na’udzu billah deh >_<
TerIYUS (baca: terus…hee maksa), di hari Akhir nanti Allah akan menyuruh para pelaku Riya’ tadi untuk minta imbalan dari orang yang dipamerinya. Dah jelas dong, orang itu gak mampu memberi imbalan. Wong nasib dia aja gak jelas, ya kan?
Nah, sama kayak cerita atasan-karyawan diatas. Si atasan ngomong “Karena kamu udah pamer sama pacarmu, nanti akhir bulan kamu minta gajinya sama dia aja!!” Haha, emang sih cerita ini fiktif. Tapi coba bayangin kalo kenyataan, so pasti pacarnya gak bakal sanggup menggaji karyawan muda, walaupun pacarnya sendiri. Dirinya aja belum cukup gajinya. Begitulah nasib tukang pamer ibadah alias Riya’.
Kasian banget yah, semoga kita terhindar dari perbuatan macem tuu… (kok malah Pin-Ipin??)
Amiiinnn…..
Pondok Peace ‘N Trend Daar El-Istiqaamah,
Yaumul Itsnain, 2 Dzulhijjah 1431 H
Senin, 8 November 2010 M
Muhammad Yusran Ibn Muhammad Yunus